Pages

Selasa, 29 Oktober 2013

1DFanfictionOneshoot : Separated

Main cast:
  • Bridgit Mendler as Elisa Hudson
  • Liam Payne as Himself
  • Danielle Peazer as Herself
Genre: Romance, Friendship, Sad Ending.
Author: Renata Gita Nurani

PROLOG:
Aku tau, semua itu butuh proses. Seperti halnya aku mencintaimu. Tapi ada kalanya aku harus melepasmu bersamanya—agar kau bisa merasakan kebahagiaanmu bersama orang lain.” –Elisa Hudson

“Aku menunggumu. Aku menunggu saat dimana kita akan selalu bersama—tanpa ada halangan dari siapapun. Kau harus tau, cintaku padamu tulus sampai ajal memisahkan kita.”—Liam Payne


^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

"aku tidak sendiri. Aku punya teman—banyak teman" Elisa menatap Liam. Liam berusaha meyakinkan Elisa.
"iya Liam. Aku disini, untukmu" tukas Elisa sambil menyentuh lembut pipi Liam.
"apa kau tidak bosan denganku?" tanya Liam sambil menelusuri punggung tangan Elisa.
"bosan? Memangnya kau mainan? Tidak Liam, kau sahabatku. Tetap jadi sahabatku" Elisa meyakinkan Liam.
Liam dan Elisa berbaring diatas hamparan rumput yang menghijau, rumput-rumput musim semi yang sangat rimbun.
"sudah berapa lama kita melakukan hal seperti ini?" tanya Elisa.
"sejak kita bersahabat. Kita selalu melakukan ini" tukas Liam. Liam menatap mata Elisa, lekat-lekat. Liam memberanikan diri.
"sampai kapan kita akan melakukan hal seperti ini?" tanya Elisa sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Liam. Hembusan lembut nafasnya memberikan ketenangan bagi Liam.
"sampai waktu yg akan memisahkan kita" Liam menghirup aroma nafasnya.
"waktu? Jawaban yg tidak memuaskan. Aku butuh kepastian" Elisa terkekeh.
"sampai akhirnya raga kita tak mampu melakukannya" sambung Liam. Elisa terdiam, dia menatap Liam.
"Liam, bisakah kau mengantarku pulang?" tukasnya selagi bangkit.
“kenapa kau nampak terburu-buru?” tanya Liam.
“ada beberapa tugas yang ingin aku kerjakan. Ayolah Liam.” Elisa menarik Liam agar ikut bangkit.

**

Liam baru saja mengantarnya pulang. diambang pintu, dia melihat Elisa yang berdiri dan memandang ke arahnya sejenak sambil tersenyum kecil dan berlalu kedalam rumah. Liam kembali melajukan mobilnya menyusuri jalanan yang mulai sepi.
Sesampainya di rumah, Liam segera membuat segelas kopi untuk dirinya sendiri. Rumahnya tampak sepi. Hanya ada dirinya, “kemana orang-orang rumah?” gumamnya. Seusai menghabiskan kopinya,  Liam segera berlari menuju kamarnya. Dia melupakan sesuatu, tadi siang Danielle memberinya sebuah kotak kado yang entah berisi apa. Liam membukanya dan mendapati sebuah coklat kesukaannya dan sebuah surat kecil yang terlihat sangat manis.
“Liam, aku mau kau memakan coklat ini. Aku tau mungkin ini aneh. Tapi aku berusaha membuatmu nyaman denganku. Kita memang belum lama bertemu dan aku harap kau mau menerimaku.” Pesan dari sepucuk surat itu.
Liam bingung dengan sikap Danielle padanya—meskipun dia menyadari kalau Danielle anak baru di sekolah. Liam-lah orang pertama yang Danielle kenal di sekolah.
“darimana Danielle tau aku suka coklat?” tanya Liam dalam hati.

**

Keesokan harinya, seperti biasa Liam menjemput sahabatnya. Sesampainya di depan rumah, Elisa telah siap dengan senyum manis yang mengembang dari bibir kecilnya.
“selamat pagi, Liam.” Sapanya ketika sudah duduk bersebelahan dengan Liam.
“selamat pagi, Elisa. Kau terlihat lebih cantik hari ini.” Puji Liam yang membuat Elisa tersipu malu.
“kau Liam, selalu saja memujiku seperti itu. Kau membuatku malu.” Tukas Elisa. Liam hanya tersenyum dan segera melajukan mobilnya.
“kau tau Danielle kan?” tanya Liam.
“iya. memang kenapa Liam?”
“dia memberikan sekotak coklat kesukaanku. Apa kau memberitahukannya?”
“iya. aku tau alasannya sekarang. Ternyata dia ingin memberikannya padamu?” sahut Elisa terkejut.
“aku juga bingung kenapa dia melakukan itu.” Gumam Liam.
“aku pikir, dia menaruh hati padamu.” Tukas Elisa.
“maksudmu, dia menyukaiku?”
“bisa jadi. Liam—aku tau kau adalah orang pertama yang Danielle kenal di sekolah. Dia murid baru yang tidak tau apa-apa. tapi dia jadi tau segalanya kerena kau. Atau mungkin coklat itu ucapan terima kasihnya padamu.” Jelas Elisa.
“entahlah. Kau pasti akan tau.”
Mereka telah sampai di sekolah. Persahabatan antara Liam dan Elisa sudah tidak asing bagi murid-murid di sekolah. Sudah sejak lama mereka bersahabat dan tidak tampak pernah bertikai. Banyak murid yang berharap kalau mereka berdua berpacaran. Tapi tidak untuk Liam dan Elisa. Mereka tetap akan menjadi sahabat—tak lebih dari itu.
Liam tersenyum ke semua orang yang menyapanya. Begitu juga Elisa. Liam sempat menggandeng tangan Elisa, tetapi Elisa segera melepaskannya ketika tau Danielle mendekat pada Liam.
“hey Liam. Apa kau sudah memakan coklat yang aku berikan untukmu kemarin?” tanya Danielle. Elisa masih berada disisi Liam.
“sudah Dani. Terima kasih atas hadiahmu yang kemarin. Aku sangat suka.” Sahutnya.
“sepertinya aku harus ke kelas dulu, Dani.” Selanya, “ayo Elisa.” Liam menarik tangan Elisa saat dia sedang memandang Danielle. Danielle tersenyum pada Elisa—Elisa berhasil menangkap yang dimaksudkan Danielle padanya—sebuah ucapan terima kasih untuknya.
“ayolah Elisa.” tukas Liam sampai akhirnya dia benar-benar menjauh Danielle yang terus tersenyum pada mereka berdua.
Kelas pertama mereka adalah Matematika. Kebetulan hari ini Liam dan Elisa mendapat 4 dari 5 moving class yang sama.
“aku pikir Danielle senang saat mengetahui kau memakan coklat itu. Tapi Liam, apa kau benar-benar memakannya?” tanya Elisa penasaran.
“iya. aku benar-benar memakannya. Untuk apa aku berbohong?” Liam mengalihkan pandangannya. “aku hanya memastikan Liam.” Tukas Elisa lirih.
Jam pelajaran telah berakhir. Saatnya istirahat makan siang. Dengan santainya, Liam menggandeng tangan Elisa erat-erat seakan dia tak mau Elisa pergi meninggalkannya. “Liam, aku bukan anak kecil. Lepaskan tanganku.” Tegas Elisa. “aku hanya ingin mengajakmu agar kita tidak kehabisan tempat duduk. Kau mengerti?” Liam memandang Elisa sejenak, Elisa mengangguk pelan.
Sesampainya di kantin, memang tempat duduk sudah penuh. Hanya ada beberapa bangku yang tersisa. Tapi, seperti biasanya Liam dan Elisa tidak pernah makan siang terpisah. Mereka selalu bersama. “kita duduk disebelah Danielle saja, ada dua kursi kosong disana.” Ujar Elisa.
“hy Dani, bolehkah kami duduk disini?” sapa Elisa ramah. Danielle mengangguk sambil tersenyum.
Mereka bertiga makan bersama sambil berbincang tentang pengalaman masing-masing. Tak terasa, bel sudah berbunyi—tanda bahwa mereka harus segera kembali masuk ke kelas masing-masing.
“aku harap kita bisa berbincang bersama lain waktu.” Tukas Elisa.
“ya, aku harap begitu.” Sahut Danielle.
“kita harus kembali ke kelas Elisa.” Ujar Liam. “kami pergi dulu, Dani. Sampai jumpa!” Elisa melambaikan tangan pada Danielle ketika mereka mulai menjauh.
Belum sampai pada tujuan mereka, Elisa menghentikan langkahnya. “Liam, lihat aku. Kenapa kau sangat acuh pada perempuan sebaik Dani?” tanya Elisa.
“aku tau dia baik. Apa yang harus aku lakukan? Aku sama sekali tidak tertarik berbicara dengannya. Aku lebih tertarik berbicara denganmu.” Sahut Liam.
“Liam? Aku tau kau sahabatku. Tapi tidak bisakah kau membuka hatimu pada orang lain? Aku tau kalau Dani mencintaimu.”
“darimana kau tau?” Liam menatap Elisa—tatapan menyudutkan.
“kau lihat tatapan Danielle padamu? Dia menyimpan sebuah kekaguman padamu. Aku melihatnya tadi, saat kau bercerita tentang masa kecil kita. Dia menatapmu kagum.” Ujar Elisa.
“baiklah, cukup. Aku tidak mau bertengkar karena masalah sepele. Kita ke kelas sekarang!” tegas Liam.

**

Liam selesai mengantarkan Elisa pulang ke rumah. Sebagai seorang sahabat, wajar bila dia sering mengantarkan kemanapun Elisa pergi. Liam sangat menyayangi Elisa.
“Hy Mom, aku pulang.” ujar Elisa ketika sampai di rumah.
“Hy Baby, apa kau sudah makan siang?”
“sudah Mom. Aku istirahat dulu.” Elisa berjalan meninggalkan dapur menuju ke kamarnya.
Sesampainya di kamar, ada sebuah panggilan masuk di ponselnya. Ternyata itu dari Danielle.
“Hallo, apa aku mengganggu?”
“Hallo Dani. Sama sekali tidak. Memang ada apa? tumben kau menelponku?”
“bolehkah aku menanyakan sesuatu?”
“apa?”
“apa kau dan Liam berpacaran?”
“pertanyaan konyol macam apa itu? Tidak. Aku dan Liam hanya sebatas sahabat. Kami tidak punya hubungan lain selain sahabat. Kau harus tau Dani. Oh, apa kau menyukainya?”
“ehm.. A-a-aku sepertinya memang menyukainya.”
“tenang saja Dani! Aku akan membantumu. Tenang saja.”
“baiklah kalau begitu, terima kasih Elisa.”
“sama-sama.” Dan akhirnya Danielle memutuskan pembicaraanya.
Elisa berfikir lagi, bagaimana caranya meyakinkan Liam agar dia mau menjadikan Danielle kekasihnya. Tiba-tiba Elisa ingat, nanti sore dia dan Liam akan bermain basket bersama—seperti yang biasa mereka lakukan. Disaat itu juga, dia akan menyakinkan Liam.

**

Sore hari telah tiba, Liam datang menjemput Elisa yang sedang sibuk menyiram tanaman di halaman depan.
“kau sedang sibuk?” sapa Liam yang belum turun dari sepedanya.
“Liam? Apa kau sudah lama?” tanya Elisa terkejut. Liam hanya tersenyum. “tunggu sebentar.” Sambung Elisa.
Elisa keluar bersama sepedanya dan sebuah bola basket yang biasa dia mainkan di taman pada sore hari bersama Liam. Mereka berangkat bersama. Sesampainya di taman, mereka melakukan pemanasan. Dan permainan dimulai.
“Liam, aku ingin menjelaskan sesuatu padamu.” Elisa mengawali pembicaraan.
“apa?”
“kau seharusnya tau, aku tidak akan selamanya menjadi sahabatmu.” Liam menghentikan permainannya.
“apa maksudmu?”
“aku pikir kau dan Danielle bisa menjadi seorang kekasih. Anggap saja dia seorang yang datang untuk menjagamu. Untuk menemanimu, Liam.”
“jadi maksudmu kau sudah tidak mau menjadi temanku? Yang selalu menjagaku dan menyayangiku?” ujar Liam.
“tidak Liam, bukan itu! aku akan selalu menjagamu. Menjaga persahabatan kita dan menyayangimu. Tapi aku harap kau mengerti, aku memberimu kesempatan untuk bersama orang lain.”
“tapi, bagaimana denganmu?”
“kau mengkhawatirkanku? Aku masih punya banyak teman. Meskipun aku tau, hanya kau yang terbaik bagiku.” Elisa menatap Liam—tatapan penuh arti, Elisa menatap tulus padanya. Dia berusaha meyakinkan sahabatnya itu.
“baiklah, aku akan mencobanya.” Tukasnya pasrah.
“terima kasih, Liam. Kau sudah mengerti apa yang aku inginkan.” Elisa mencium pipi Liam dan merebut bola di tangan Liam—permainan kembali dimulai.

**

Entah sudah hampir beberapa minggu ini Liam dan Danielle mulai dekat. Kedekatan mereka di dukung penuh oleh Elisa. Elisa rela sahabatnya itu berpacaran dengan Danielle karena Elisa tidak mau melihat Liam yang jarang bergaul dengan orang lain selain dirinya.
“Liam, kau akan segera menyatakan cinta pada Dani kan?” tanya Elisa.
“aku tak yakin. Kau benar-benar mendukungku?” Liam balik bertanya. Elisa mengangguk kecil sambil tersenyum ke arah Liam.
“akan aku usahakan. Secepatnya.” Sambung Liam. Elisa menatapnya bangga.
“aku mendukungmu Liam.” Elisa memeluk Liam.

**

Malam harinya, Liam menelfon Elisa. Dia baru saja mengungukapkan rasa cintanya pada Danielle. Elisa terkejut, tapi dia merasa senang akan hal itu.
“Aku sudah menyatakan cintaku padanya. Dia menerimaku, sekarang aku memilikinya.”
“selamat Liam! Kau memang hebat, aku bangga padamu.”
“kau akan tetap jadi sahabatku, Elisa?”
Sejenak, Elisa terkejut mendengar perkataan Liam di telfon, “Iya Liam, aku akan tetap jadi sahabatmu. Percayalah.”
“aku percaya padamu. Aku yakin kau akan jadi sahabatmu. Jadi tolong, jangan pernah menghindar dariku.”
“iya Liam. Pasti.”
“ya sudah, kita bertemu besok pagi. Selamat malam.”
“selamat malam, Liam.”
Setelah menerima telfon dari Liam, Elisa merasa ada hal yang aneh pada dirinya. Dia tidak rela Liam berpacaran dengan Danielle. Ada sebuah beban dalam hatinya.
“oh Tuhan, apakah aku mencintainya? Tapi kenapa baru sekarang aku merasakan ini? Kenapa aku merasakannya saat dia memiliki orang lain dan orang lain itu aku anggap sebagai teman dekatku?” sesalnya dalam hati. Tidak terasa Elisa menitikan air matanya. Dadanya terasa sesak, dia berlari menuju kotak obat dan mengeluarkan sebuah obat penenang yang diberikan dokter keluarga kepadanya tadi pagi.
“ingat Elisa. Kasihan jantungmu. Kau tidak boleh sedih. Kau harus kuat.” Ujar Elisa pada dirinya sendiri.

**

Semenjak kejadian itu, Elisa mulai mengurangi kedekatannya bersama Liam. Elisa tidak mau terlalu mencampuri urusan mereka berdua. Elisa memilih sibuk di perpustakaan kota, membantu Mr. Gordon menjaga dan merapikan perpustakaan, dan mengurangi beberapa kebiasaan yang sering dia lakukan bersama Liam. Salah satunya, bermain basket pada sore hari. Karena kesibukannya di perpustakaan, akhirnya dia mulai dekat dengan seorang laki-laki yang bernama Niall Horan.
“Hy Elisa, mau aku bantu?” bujuk Niall pada Elisa.
“tidak Niall. terima kasih.” Ujar Elisa singkat, Elisa masih sibuk menata beberapa buku yang baru datang. Tetapi Niall mengamati wajah Elisa.
“tunggu, kenapa kau pucat? Apa kau sakit?” tanya Niall.
“sedikit tidak enak badan.” Tukas Elisa.
“mau aku antar pulang? rumah kita searah kan?”
“iya. aku mau pulang. tapi, kau mau aku ajak minum kopi? Nanti aku yang traktir, aku ingin berbicara sesuatu padamu.”
“baiklah. Ayo berangkat sekarang.” Ajak Niall.
Mereka sudah sampai pada tempat tujuan. Niall mencari tempat duduk yang dekat dengan jendela kaca depan. Beberapa menit mereka membicarakan sesuatu. Dengan seksama, Niall mendengarkan perkataan Elisa.
Ternyata Liam dan Danielle sedang berjalan-jalan disekitar kafe tempat Elisa dan Niall pergi minum kopi. Liam melihat kedekatan Elisa dengan Niall.
“jadi itu penyebab Elisa mulai menjauhiku? Selain sibuk di perpustakaan, dia sibuk jalan dengan Niall?” gumam Liam.
“kau bilang apa Babe?” tanya Danielle yang sontak mengagetkan Liam.
“apa itu Elisa dan Niall?” ucap Liam sambil menunjuk tempat Elisa dan Niall berada.
“aku rasa iya. memang kenapa?”
“entahlah. Aku pikir Elisa jarang bersamaku. Dan sepertinya dia sibuk dengan urusan perpustakaan dan Niall tentunya.” Tukas Liam.
“sudahlah Liam. Biarkan saja mereka bersama. Toh Elisa yang membuatmu dekat denganku?”
“kau benar Dani. Harusnya aku memberinya kebebasan.” Tukas Liam sambil berlalu menggandeng tangan Danielle.

**

Liam terduduk sendirian di sofa. Lagi-lagi hari ini hanya ada dia di rumah. Liam tidak sedang berdiam diri, dia memikirkan sesuatu—sesuatu yang sangat mengejutkan.
“aku tak rela menatap Elisa dan Niall Horan berduaan di sebuah kafe. Aku tidak rela membiarkan mereka berdua bersama. Oh Tuhan, apa aku masih mencintai Elisa? Apakah rasa cintaku padanya belum hilang? Tuhan, aku memiliki Danielle saat ini. Apakah aku salah jika menganggap akan kehilangan rasa cintaku pada Elisa ketika memiliki Danielle?” hal yang Liam pikirkan sekarang. Sebuah penyesalan dari dalam hatinya.

**

“Elisa!” teriak Liam dari depan pintu gerbang.
“Liam?” Elisa menoleh ke arah Liam dan memamerkan senyum manisnya.
“apa kau ada waktu? Aku ingin bicara denganmu.” Tukas Liam sambil membalas senyuman Elisa. Elisa mengangguk.
“kemarin, aku melihatmu dan Niall sedang berada di kafe.”
“benarkah? Tapi aku tidak melihatmu. Kau bersama siapa? Danielle?” tebakan yang tepat. Liam mengangguk dengan cepat.
“kau punya hubungan spesial dengannya?” pertanyaan yang mengagetkan bagi Elisa.
“tidak. Kami hanya berteman dekat. Hampir seperti kau dan aku. Memang ada apa? apa ini sebuah masalah?” tanya Elisa yang membuat Liam salah tingkah.
“tidak. Aku hanya memastikan. Oh iya, kenapa kau tidak mau bermain basket denganku lagi?” Tukas Liam.
“bukannya aku tidak mau Liam. Aku membiarkanmu dan Danielle bermain bersama. Itu adil kan?”
“tapi kau tetap jadi sahabatku kan? Kenapa kau tidak mau melakukannya bersamaku lagi?” tegas Liam. Langkah Elisa terhenti karena kata-kata itu.
“aku terlalu sibuk dengan urusan perpustakaan. Aku lelah. Aku hanya butuh istirahat sepulang dari sana. Dan aku harap kau mengerti, Liam.” Tukas Elisa tak kalah keras. Dia pergi meninggalkan Liam.

**

Sudah hampir 5 bulan Liam dan Danielle menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Elisa makin menjauh dari mereka berdua. Tapi, Liam mulai bisa mengerti apa yang diinginkan sahabatnya itu.
“pagi Babe.” Danielle datang sambil mengecup pipi Liam. Kebetulan, kelas masih kosong.
“pagi Sweetheart. Oh iya, apa kau merasa aneh pada Elisa?” tanya Liam.
“memang kenapa?”
“dia jarang sekali mengambil kelas yang sama denganku. Sekarang, kami jarang bertemu dan berbicara. Apa yang harus aku lakukan?”
“aku pikir dia memang butuh sendiri, Liam. Aku tau perasaanya, dia pasti ingin mencari seseorang yang mampu membuatnya nyaman selain dirimu karena dia tau, kau sekarang jadi kekasihku.” Terang Danielle.
“kau benar juga Sweet.” Tukas Liam.

**

"Liam, apa kau ada wktu sore ini?"
"iya Elisa, ada apa?" Liam langsung menyadari suara perempuan yang ada di telfon.
"aku menunggumu di taman sprti biasa kita bertemu. Kau akan datang?"
"pasti Elisa"
"sampai bertemu, Liam"
"sampai bertemu, Elisa" Elisa memutuskan panggilannya.
"hey Liam!" Danielle mengagetkan Liam dari belakang.
"hey Dani! Kau mengagetkanku" kata Liam sambil tersenyum ke arahnya.
"telepon dari siapa?"
"Elisa. Nanti sore aku akan menemuinya. Kau tidak keberatan kan?" tanyaku.
"tidak. Temui dia, Liam"
"Dani, terima kasih telah menjadi kekasihku. Terima kasih juga, kau telah percaya padaku" ujarku sambil menyentuh punggung tangannya dan menatapnya.
"sama-sama Liam" Danielle tersenyum manis.
"terima kasih. Kau telah membuatku sedikit melupakan rasa cintaku pada Elisa. Meskipun hanya sedikit—Danielle." ujar Liam dalam hati. Liam memeluk Danielle dan mencium keningnya.
----SKIP----
Liam telah sampai di taman. Liam mengedarkan pandangannya ke sekeliling taman mencari keberadaan Elisa. Gadis manis itu duduk di tepi sebuah kolam.
"Hey Liam" Elisa menyapa Liam. Liam lantas tersenyum dan menghampirinya.
"sudah lama menungguku?" tanya Liam sambil duduk disebelahnya.
"belum lama" tukasnya sambil tersenyum.
"apa yg ingin kau bicarakan padaku?" ujar Liam sedikit mendesak.
"aku akan meninggalkan Inggris" Jelas Elisa tanpa basa-basi.
"kau mau pergi kemana?" ucap Liam terkejut.
"aku akan pindah ke New York"
"untuk apa? Apa alasanmu pindah ke New York?" desak Liam.
"orang tuaku. Mereka punya rencana disana. Aku tidak bisa menolak keinginan mereka" jelasnya.
"dan kau akan meninggalkanku sendirian? Kau melanggar janjimu" tegasku.
"kau tidak sendiri Liam. Aku tau Danielle akan menemanimu, dia menyayangimu. Lebih dari aku menyayangimu" suasana berubah dramatis.
"kau harus tau Elisa, sejujurnya aku sangat mencintaimu" ungkapku.
"apa kau bercanda?" Elisa tertawa.
"aku serius Elisa! Tatap mataku, apa aku pernah membohongimu?" Liam menarik lengan Elisa  dan menatapnya lekat-lekat.
"lalu Danielle?"
"Danielle menjadi salah satu yg bisa membuatku sedikit melupakan rasa cintaku padamu. Aku masih tetap mencintaimu, sangat mencintaimu" jelas Liam.
“kau gila, Liam. Kau mempermainkan Danielle?” Elisa nampak terkejut.
“aku tidak mempermainkannya. Aku mencintainya, tapi rasa cintaku padanya lebih sedikit dibanding rasa cintaku padamu. Maukah kau jadi kekasihku?” Elisa menatap Liam. Matanya berkaca-kaca. Saat Elisa hendak pergi meninggalkan Liam, dia tertahan. Tenaga Liam terlalu kuat untuk dia lawan. Liam menarik Elisa sampai dia bisa memeluknya. Dia memberikan sebuah ciuman hangat pada bibir Elisa.
“cukup Liam. Aku harus pergi sekarang.” Elisa berusaha melepaskan ciuman Liam. Setelah itu, dia berjalan meninggalkan Liam.
“ingat Elisa. Aku akan tetap menunggu jawaban darimu.” Teriak Liam.

**

Hampir 8 bulan setelah Elisa pergi ke New York. Liam merasa hidupnya hancur. Tidak ada lagi sosok yang mengisi hari-harinya dengan sebuah senyum yang menawan dari bibir tipisnya.
Liam yang sedang terduduk di sofa tiba-tiba bangkit karena mendengar ada seseorang yang memencet bel pintunya. Saat Liam membuka pintu, berdiri dengan gagah seseorang yang tidak asing baginya, Ron Hudson—kakak kandung Elisa.
“hy Liam. Apa aku mengganggumu?” tanya Ron singkat.
“tidak. Silahkan masuk.” Ujar Liam.
“tidak. Kita bicara disini saja.”
“baiklah, apa yang ingin kau bicarakan padaku?”
“aku hanya ingin memberikan ini. Ini dari Elisa.” Tukasnya sambil memberikan sebuah kotak kado yang dibungkus kain putih dan sebuah pita yang manis diatasnya.
“Elisa? Bagaimana kabarnya?” tanya Liam.
“Elisa meninggal Liam. Dia akan dimakamkan besok. Aku harap kau mau menghadiri pemakamannya. Dan ini, barang terakhir miliknya yang dia berikan untukmu.” Liam terkejut mendengarnya. Dia tak percaya dengan perkataan Ron.
“kau bercanda?” tanya Liam meyakinkan.
“tidak. Mungkin kau akan tau semuanya lewat isi kotak itu. Aku pergi dulu Liam.” Tukas Ron sambil berlalu meninggalkan Liam.
Dengan langkah gontai Liam masuk ke dalam rumah. Ruth—kakak perempuannya, menatap heran pada Liam.
“Liam, kau baik-baik saja?”
“tidak. Aku tidak baik-baik saja—Elisa meninggal.” Liam menatap hampa pada Ruth. Ruth tampak tidak percaya. Dia berjalan menuju Liam dan memeluknya.
“lalu apa yang kau bawa?” tanya Ruth.
Liam membuka bungkusan kado itu. terdapat sebuah handycam. Liam segera memutar video yang ada di dalamnya.
“Hey Liam. Mungkin ini pertama kalinya kau melihatku setelah kita lama tidak bertemu. Aku rindu padamu Liam. Dan sekarang, aku berada di Mount Sinai Medical Centre, New York. Kau pasti kaget kan melihatku seperti ini? Apa aku tampak kurus?” Elisa menatap layarnya. Memang benar, Elisa nampak sangat kurus.
“harus kau tau Liam. Aku disini untuk berobat. Maafkan aku karena tidak pernah memberitahukan masalah ini padamu. Liam, aku sangat menyayangimu. Kau memang temanku yang paling baik, kau mengerti semua tentangku. Rahasia-rahasia kecilku, benda kesukaanku, pelajaran yang paling aku kuasai, sampai beberapa kecerobohan yang sering aku lakukan. Terima kasih Liam. Kau segalanya bagiku.” ujar Elisa sambil menampakkan senyum manisnya.
“aku tidak mau menyimpan semuanya. Langsung saja, aku mengidap penyakit lemah jantung. Aku baru menyadari itu sejak 1 tahun yang lalu. Maka dari itu aku sering lelah ketika melakukan pekerjaan berat. Aku mengurangi melakukan kebiasaanku bersamamu karena penyakitku. Bukan karena aku terlalu sibuk dengan kegiatanku. Jika aku merasa lelah, aku bisa merasakan sesak di dada dan bahkan pingsan. Wajahku bisa berubah pucat pasi. Dan sekarang, aku berada disini untuk menjalani transplantasi jantung. Aku sendirian disini, Liam. Aku kesepian tanpamu. Aku menjalani hari-hariku, dengan berbagai macam aturan yang diterapkan sebelum pasien melakukan transplantasi. Berbagai macam obat masuk ke dalam tubuhku. Aku merasakan sakit yang teramat sangat.” Raut muka Elisa menjadi sedih.
“tapi, transplantasi itu tidak sepenuhnya bisa menyembuhkanku. Tubuhku bisa saja menolak donor jantung untukku. Dan sepertinya itu terjadi padaku. Liam, entah ini terakhir kalinya aku sadarkan diri atau bukan. Tapi, maafkan aku. Aku tidak pernah memberi tau masalah ini. Ada satu orang lagi yang tau masalah ini. Dia Niall Horan. Kau masih ingat saat aku minum kopi bersama dengannya? Saat itulah aku menceritakan semuanya pada Niall. karena jika aku menceritakan ini padamu, aku takut kau akan mengkhawatirkanku.” Elisa kembali menatap layar.
“Liam, sejujurnya, aku mencintaimu. Benar-benar mencintaimu. Aku terlalu lemah untuk menerimamu. Aku terlalu pengecut untuk menyatakannya padamu. Liam, aku tak mau menyakitimu, aku membiarkanmu bersama Danielle agar kau bisa merasakan sosok yang lebih kuat daripada aku. Sosok yang bisa melindungimu. Jujur, aku memang tidak bisa melakukan itu. Liam, aku cemburu pada Danielle, hatiku hancur saat melihatmu bersama dengannya. Maka dari itu, aku memilih menjauh dari kalian berdua. Maafkan aku, aku melanggar semua janjiku untuk terus menjagamu dan menyayangimu. Liam, aku mencintaimu. Jaga dirimu baik-baik. Jaga hubunganmu dengan Danielle untukku. Selamat tinggal Liam.” Elisa tersenyum dan menitikan air matanya dan rekaman dirinya selesai sampai disini.
Ruth tercengang. Dia yang sedari tadi ikut menonton rekaman tidak bisa berkata apa-apa, air matanya mengalir deras. Begitu juga Liam, dia belum bisa menerima semuanya. Elisa, sahabat yang sangat dia cintai itu telah tiada. Dengan meninggalkan sejuta perasaan menyesal yang masih menghinggapi benaknya. Liam menatap layar handycam. Berharap, sosok wanita yang sangat dia cintai benar-benar hadir bersamanya sekarang. Tapi Liam ingat, wanita yang dia cintai sudah terbujur kaku tak bernyawa. Ruth berusaha menenangkan Liam dengan cara memeluknya erat.
“Elisa. Aku mencintaimu, kenapa kau meninggalkanku, secepat ini? Tapi, aku akan tetap mencintaimu, aku akan menjaga diriku dengan baik, juga menjaga hubunganku dengan Danielle. Semata-mata hanya untukmu.” Gumam Liam dalam hati.
=====THE END=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar