Main Cast:
- Emma Watson as Herself
- Louis Tomlinson as Himself
- Alex Watson as Himself
Author: Renata Gita Nurani
PROLOG:
“Hujan, akan selalu mengingatkanku pada seseorang. Dia yang benar-benar menjadi penyemangat hidupku, dia laki-laki yang membuatku bangkit dari keterpurukan. Tapi, dia orang yang meninggalkanku saat aku mulai bisa menerimanya.”–Emma Watson
“aku sangat mengagumi hujan. Sama halnya dengan aku mengagumi seorang wanita yang tidak sengaja bertemu denganku. Wanita yang menjadi penyemangatku. Aku bodoh karena telah meninggalkanya. Hanya ada satu alasan untuk itu. Aku tidak bisa menjaganya sebagaimana laki-laki menjaga orang yang disayang. Karena aku terlalu rapuh untuknya.”—Louis Tomlinson
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Emma Watson. Seorang wanita karir yang tinggal pada sebuah apartemen di pusat kota London sedang berjalan sendirian menyusuri trotoar. Wanita muda berusia 23 tahun ini baru saja pulang kerja.
Seperti biasa, ia menunggu bus yang biasa ia tumpangi saat pulang menuju apartemennya. Saat menunggu di halte, ia menatap langit yang tampak mendung. “Tuhan, aku mohon jangan turunkan hujan sebelum aku sampai di apartemen.” Gumamnya dalam hati. Tak berapa lama setelah ia berharap, hujan mulai turun yang lama-kelamaan semakin deras. Hampir lima belas menit ia menunggu. Tapi, bus yang biasa ia tumpangi tidak kunjung datang.
Tiba-tiba, ada seorang laki-laki yang duduk disampingnya. Penampilannya cukup menarik dengan kemeja biru dan celana jeans warna senada yang membalut tubuhnya. Posturnya tinggi dan kurus bagi ukuran pria. Rambut coklatnya basah terkena hujan, matanya berwarna biru laut yang cukup meneduhkan.
“maaf nona. Kau naik bus nomor berapa?” tanyanya ramah. Emma menatapnya sejenak sebelum menjawabnya.
“nomor 264. Anda sendiri?” Emma balik bertanya. tersirat sebuah senyum manis sebelum laki-laki itu menjawabnya.
“kita satu tujuan. Apa kau tinggal di sebuah apartemen?” laki-laki itu menatap Emma. Namun Emma merasa tidak nyaman dengan pertanyaannya.
“iya.” jawab Emma singkat.
“maaf sebelumnya. Mungkin aku terlalu banyak bertanya. Oh iya, kenalkan, aku Louis Tomlinson. Aku baru pindah kemari, jadi aku belum tau banyak tentang daerah ini.” Tukas Louis.
“Oh, kau orang baru? Kenalkan, aku Emma Watson.” Emma memperkenalkan dirinya sambil menjabat tangan Louis yang sedari tadi menantinya.
“iya. aku baru saja pindah kemarin. Mungkin kau masih asing denganku.” Kembali, Louis tersenyum manis dihadapan Emma.
Tak berapa lama kemudian, bus yang akan mereka tumpangi telah sampai. Emma dan Louis bergegas masuk kedalam karena hujan makin deras. Emma memutuskan duduk pada bangku yang berada di tengah. “bolehkah aku duduk disampingmu, Emma?” tanya Louis. Emma mengangguk sambil tersenyum pada Louis yang sudah duduk tepat disampingnya.
“Louis. Kalau boleh tau, apa kau juga tinggal di apartemen?” tanya Emma.
“tidak. Aku tinggal di sebuah rumah. Rumah pamanku lebih tepatnya.” Tukasnya sambil menyerahkan karcisnya pada petugas.
“oh, begitu?” gumam Emma pelan seraya menyerahkan karcisnya pada petugas.
Tak berapa lama kemudian, keheningan terjadi diantara mereka berdua. Tidak ada yang saling memulai pembicaraan. Emma memutuskan untuk mendengarkan musik lewat iPod miliknya sambil memandangi hujan yang turun lewat kaca jendela.
Louis ternyata berniat mengajak Emma berbicara. Tapi, ia mengurungkan niatnya saat mengetahui Emma sedang sibuk dengan iPod dan tatapannya ke luar jendela.
Bus yang membawa mereka berdua telah sampai di tujuan. Emma dan Louis segara turun dari bus. Tujuan mereka berbeda, Emma menuju ke arah selatan sementara Louis menuju arah utara.
“Emma!” teriak Louis yang sontak mengagetkan Emma. Emma langsung menoleh ke arahnya.
“mungkin lain kali kita akan bertemu dan saling bertukar cerita. Senang bertemu denganmu, Emma.” Ucap Louis. Emma menatapnya sejenak kemudian mengangguk dan tersenyum pada Louis saat dia berjalan meninggalkannya.
**
“hey Alex.” Sapa Emma pada adik laki-lakinya, Alex Watson. Yang sedang duduk di sofa sambil menonton televisi.
“ada apa? kenapa tiba-tiba kau pulang lebih awal?”
“apa aku tidak boleh pulang lebih awal? Alex, ini apartemenku. Aku bisa kapan saja pulang dan beristirahat disini.” Tukas Emma sambil meneguk air minum yang dia ambil dari lemari pendingin.
“Emma. Kau tau kan kalau kau satu-satunya keluarga yang aku punya di dunia ini?” tanya Alex seraya bangkit dari duduknya dan menatap Emma.
Emma terkejut mendengar perkataan adiknya itu dan tak sengaja ia menjatuhkan gelas yang ia gunakan untuk minum. “apa maksudmu, Alex?” tanya Emma heran.
“aku ingin kau selalu ada disampingku. Kau harus tau, aku membutuhkanmu. Aku tau kau memang punya kehidupan yang jauh lebih nyaman dibanding kehidupanmu untuk mengurusku. Tapi Emma, aku hanya butuh perhatianmu. Aku muak dengan semuanya.” Alex berjalan meninggalkan Emma. Saat itu juga, Alex membanting pintu kamarnya.
Emma berdiri terpaku menatap kamar sang adik. Tak terasa, butir air mata menetes dari mata coklatnya. Semua rasa lelahnya tiba-tiba menjadi sebuah beban berat yang harus ia pikul. Emma merasa lemah, dia tak berdaya dengan perkataan Alex mengenai dirinya.
Emma menghampiri kamar sang adik. Ia mengetuknya pelan, “Alex. Aku tau aku salah. Aku mohon, Alex buka pintunya. Aku ingin bicara denganmu.” Ujarnya. Tapi, tidak ada jawaban dari Alex.
Emma bergerak pelan meninggalkan kamar adiknya. Ia menangis tanpa bersuara. Emma tidak ingin adiknya tau kalau ia menangis. Emma melangkah masuk ke kamarnya, ia bergegas ke kamar mandi. Saat ini pikirannya sedang kacau, ia mulai membenamkan tubuhnya kedalam bath up. Sambil terus menangis, ia mengingat kembali tentang semua hal yang ia lakukan terhadap Alex. “maafkan aku, Alex. Aku memang terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Aku memang egois. Alex, aku mohon maafkan aku.” Ujar Emma sambil terus menangis.
Seusai berendam, Emma duduk pada sebuah sofa yang menghadap langsung ke jalanan kota London. Ketika itu hujan turun dengan lebatnya, dia kembali mengingat masa suramnya. “kenapa hujan selalu mendatangkan petaka bagiku? aku benci hujan! Mereka merenggut nyawa Mom dan Dad. Sekarang apa lagi? Apa kalian akan mengambil Alex dariku juga? AKU BENCI HUJAN!” Emma berteriak sekuat tenaga sambil menangis tersedu. Ia mendekap erat lututnya. “aku butuh orang yang benar-benar bisa menerimaku. Tuhan, kenapa Kau memberiku cobaan seperti ini? Apa salahku?” gumamnya lebih pada dirinya sendiri.
**
Keesokan harinya, Emma kembali pulang dengan menumpangi bus yang ia gunakan kemarin. Dan lagi-lagi ia bertemu dengan Louis Tomlinson. Berlanjut pula pada hari-hari berikutnya, Emma selalu bertemu dengan Louis dan sekarang mereka makin dekat.
“Louis, apa aku bisa bertanya sesuatu padamu?” tanya Emma pada Louis saat mereka sama-sama sedang menunggu bus di halte.
“tanya soal apa?” tanya Louis heran.
“banyak hal. Apa kau sibuk hari ini?” tanya Emma, Louis menggeleng.
“bagaimana kalau kau aku traktir makan siang. Kau mau?” ajak Emma.
“dengan senang hati. Tapi, kau tidak keberatan?”
“tidak Louis. Sama sekali tidak. Kau mau?” ujar Emma girang. Louis hanya tersenyum sambil menaikkan alisnya.
Mereka berdua berjalan menuju sebuah restoran Prancis yang letaknya tidak jauh dari halte. Sesampainya disana, Louis mempersilahkan Emma untuk memesan makanan.
“kau mau bicara soal apa?” tanya Louis memulai pembicaraan.
“Akhir-akhir ini adikku jarang mengajakku berbicara. Aku bingung harus melakukan apa.” jelas Emma langsung pada permasalahan.
“memang apa permasalahannya?” tanya Louis penasaran.
“aku merawat adikku sendirian. Ayah dan ibuku sudah meninggal 2 tahun yang lalu. Mereka mengalami sebuah kecelakaan. Mungkin sekitar 8 bulan ini aku mulai bekerja lembur. Aku jarang punya waktu untuknya. Aku jarang pulang tepat waktu. Terkadang, aku pulang larut malam sehingga tidak sempat mengawasi adikku. Dan beberapa hari yang lalu, ia marah padaku. Ia ingin aku memberikan perhatianku padanya. Aku harus bagaimana Louis?” jelas Emma panjang lebar.
“aku yakin kau pasti punya alasan untuk itu. Jelaskan semuanya, jelaskan kalau kau menginginkan sesuatu yang terbaik untuknya. Berikan alasan terbaikmu.”
“caranya? Aku tak terlalu bisa memahami perasaan seorang laki-laki.”
“ajak dia makan malam atau lakukan kebiasaan kecil yang biasa kalian berdua lakukan, bahkan kau bisa melakukan hal yang diinginkan adikmu. Biarkan ia merasa nyaman saat bersamamu, dan saat ia mulai bisa menerimamu lagi, jelaskan semuanya.” tukas Louis.
“kau yakin itu akan berhasil?” tanya Emma. Louis mengangguk.
**
Emma menerapkan apa yang Louis sarankan padanya. Sekarang, ia dan Alex kembali akrab. Alex mulai mengerti dengan kemauan sang kakak. Emma sangat bahagia, ia mulai menganggap kalau Tuhan mendengar doanya. Tuhan mengirimkan seorang laki-laki yang bisa membuatnya bangkit dari keterpurukan.
Emma sedang duduk melamun di balkon apartemennya sambil menatap hujan yang kembali turun dengan derasnya. Ia meneguk secangkir coklat panas. Tak berapa lama kemudian, Alex datang,
“kenapa kau diam seperti itu, Emma?” ucapan Alex membuyarkan lamunan Emma.
“kau Alex? Sejak kapan kau ada disini?” Emma balik bertanya.
“baru saja.” Tukasnya singkat.
“Alex, apa kau pikir aku terlalu berlebihan?” Emma menatap adiknya yang sedang sibuk dengan iPad-nya.
“berlebihan? Soal apa?” Alex mengalihkan pandangannya pada Emma.
“tentang kebencianku pada hujan. Apa kau pikir ini terlalu berlebihan?”
“aku rasa kau punya alasan yang tepat atas semua itu. aku berani bertaruh.” Alex menatap tajam pada Emma.
“ya. Kau benar Alex! Aku punya alasan dan aku pikir kau tau alasannya.” Alex menaikkan alis lalu tersenyum pada Emma.
“lupakan kenangan pahit yang telah terjadi. Mungkin suatu saat kau akan berbalik menyukai hujan.” Tukasnya sambil berlalu ke dalam apartemen.
Tiba-tiba, Emma ingin pergi keluar apertemen. Ia seakan ingin membuktikan perkataan Alex—apakah mungkin ia akan menyukai hujan. Emma mengambil jaket dan payung miliknya,
“kau mau kemana?” teriak Alex dari dapur.
“aku mau jalan-jalan sebentar. Mungkin perkataanmu benar, aku akan menyukai hujan. Dan aku mohon, jangan meninggalkan apartemen sebelum aku pulang.” Tukas Emma sambil berlalu meninggalkan apartemen.
Emma berjalan menyusuri jalanan kota London. Suhu udara hari ini cukup dingin. Saat ia hendak masuk ke sebuah toko buku, tidak sengaja dia menabrak seorang laki-laki.
“I’m sorry, Sir.” Kata Emma meminta maaf.
“no problem.” Ujar laki-laki itu sambil menoleh ke arah Emma. Jaketnya sedikit terbuka sehingga Emma dapat melihat wajahnya dengan jelas.
“Louis?” ujar Emma kaget saat mengetahui wajah laki-laki yang ia tabrak.
“Emma? Sedang apa kau disini?” tanya Louis.
“aku hanya sekedar berjalan-jalan disekitar sini. Kau sendiri?”
“aku memang sering kesini sepulang kerja.” Ucap Louis.
“kau mau aku ajak minum kopi? Aku tau kedai kopi yang terkenal di dekat sini.” Sambungnya menawarkan.
Emma mengangguk, “tapi apa kau tidak keberatan?” imbuhnya.
“tidak. Ayo ikut aku.” Louis menggandeng tangan Emma.
**
Mereka berdua telah sampai pada sebuah kedai kopi. Banyak orang mengantri disini. Louis masuk ke dalam dengan menerobos banyak antrian, para pembeli menatap tajam ke arah Louis dan Emma. Namun, Emma hanya bisa mengikuti Louis dari belakang.
“Hey Paman! Tolong buatkan aku kopi terbaikmu. Untukku dan temanku. Aku tunggu diatas.” Ujar Louis pada penjual di kedai itu.
Louis mengajak Emma masuk ke dalam kedai, lebih dalam lagi tepatnya ke lantai atas sampai akhirnya mereka pada sebuah ruangan yang lebih mirip ruang tamu.
“Louis, sebenarnya tempat apa ini?” tanya Emma penuh selidik.
“ini rumahku selama aku ada disini. Dan yang di depan tadi, itu pamanku.” Tukasnya.
“yang benar?” Emma terkejut. Louis hanya mengangguk sambil tersenyum.
Beberapa saat Emma terpaku pada pemandangan diluar jendela—hujan. Louis sedari tadi tampak mengamati Emma.
“ada apa Emma? Apa kau ada masalah lagi?” tanya Louis.
“bagaimana caranya menyukai hujan? Jujur, aku sangat membencinya.” Tukas Emma.
“kenapa kau membencinya? Hujan itu membawa berkah.”
“kenapa kau bilang begitu? Hujan telah merenggut nyawa Mom dan Dad. Hujan yang menyebabkan pertengkaranku dan Alex.” Emma menatap Louis. Matanya berkaca-kaca.
“hujan itu membawa kebahagiaan. Sejujurnya, aku sangat mengagumi hujan, aku selalu merindukan hujan. Alasannya cukup mudah, dibalik lebatnya hujan, terkadang dia membawa pelangi—pelangi kebahagiaan. Itu berkah yang Tuhan berikan pada umat manusia.”
“tapi kenapa Tuhan selalu memberiku petaka ketika hujan?”
“Tuhan punya rencana-Nya sendiri. Dia telah menyiapkan sebuah kebahagiaan untukmu.” Louis menatap Emma seakan ingin meyakinkannya.
“Emma, kau harus tau. Aku selalu menemukan kebahagiaan ketika hujan. Salah satunya adalah bertemu dengan seorang wanita yang benar-benar aku kagumi.” Louis kembali menatap Emma, tatapannya makin dalam.
Tiba-tiba saja, paman Louis datang dengan membawa dua cangkir kopi. Dengan senyum yang mengembang di bibirnya, ia menyapa Emma dengan ramah,
“ini nona manis, kopinya. Semoga kau menikmatinya.” Ujarnya sambil tersenyum pada Emma.
“dan ini untuk keponakanku tersayang.”
“terima kasih, Paman.” Tukas Louis sambil tersenyum pada sang Paman. Pamannya pun pergi meninggalkan ruangan ini.
“aku tau, memang setiap orang punya kenangan yang berbeda tentang hujan.” Emma mulai meminum kopi miliknya. Begitu juga dengan Louis.
“Emma, mulai sekarang bolehkah aku menjadi sahabatmu?” Louis menatap Emma yang secara spontan mengangkat kepalanya.
“aku senang kau mau jadi sahabatku. Pasti aku tidak bisa menolaknya.”
**
“Louis, aku tak tau apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Tapi aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padamu.” Ujar Emma sambil terus memeluk lututnya.
“terima kasih untuk apa?” tanya Louis.
“terima kasih telah memberiku semangat untuk tetap menjalani hidup.” Emma memandang Louis yang sedari tadi memperhatikannya.
“aku tidak keberatan masalah itu. Aku senang membantumu.”
Tiba-tiba hujan mulai turun. Louis khawatir akan Emma, “ayo kita pulang!” ujarnya sambil meraih tangan Emma.
“Tidak. Kau pikir aku masih membenci hujan? Aku mulai sadar Louis, aku mulai menyukai hujan. Semuanya karena perkataanmu.” Louis menatap Emma heran. Namun dia kembali duduk di atas rerumputan taman kota.
“jadi kau menyukainya?” ujar Louis. Emma mengangguk kecil. Louis makin mendekat pada Emma dan tiba-tiba bibirnya mencium lembut bibir Emma. Dibawah rintik hujan, pasangan ini terlihat nyaman dengan apa yang mereka lakukan.
“kau tidak marah?” tanya Louis setelah melepaskan ciumannya.
“sama sekali tidak. Aku rasa, aku menginginkannya.” Ujar Emma malu. Mendengar perkataan Emma, Louis kembali mencium bibirnya.
“kau tidak marah kan?” Louis mengulang pertanyaannya sambil tersenyum jahil pada Emma. Emma mencubit pipi Louis, “kau menjengkelkan.” Ujar Emma dan saat itu juga mereka tertawa bersama.
**
Sudah hampir 3 hari ini Emma tidak melihat Louis. Biasanya, mereka akan bertemu sepulang kerja, namun Louis tidak pernah muncul setelah pertemuan mereka di taman. Emma berusaha mencari tau keberadaan Louis. Ia pun datang ke rumah paman Louis.
“permisi Paman, apa saya bisa bertemu dengan Louis?” ujar Emma ketika sampai di kedai kopi milik paman Louis.
“kau perempuan yang waktu itu datang bersama Loui kan? Loui sudah kembali ke Doncaster. Tapi dia menitipkan surat ini untukmu.” ujarnya sambil mengambil sebuah surat dari laci.
“baiklah Paman. Kalau begitu saya pamit pulang.” Emma bergegas meninggalkan kedai.
Sesampainya di rumah, Emma segera membuka surat dari Louis dan membacanya.
“Dear Emma,
Mungkin aku terlalu munafik. Maafkan aku Emma, aku meninggalkanmu begitu saja. Kau tau kenapa? Karena aku pikir kau sudah mulai kembali menjalani hidupmu yang lebih bahagia tanpaku. Aku tau kita belum lama bertemu—dan pertemuan kita cukup singkat. Awalnya, kita tidak saling mengenal namun lama kelamaan kita menjadi makin akrab bahkan menjadi sahabat.
Aku tau kita berbeda. Kau membenci hujan sementara aku mengaguminya. Salah satu alasan mengapa aku mengagumi hujan adalah pertemuanku yang pertama kali denganmu. Kau masih ingat saat itu? hujan mulai turun dan kita naik dalam satu bus yang sama.
Aku memang terlalu munafik. Sejujurnya aku lebih rapuh darimu. Emma, orang tuaku telah bercerai dan mereka menginginkan aku menjadi apa yang mereka berdua inginkan—tapi aku tidak sanggup. Maka dari itu aku memilih kabur ke London dan menjalani hidupku sendiri. Tapi sekali lagi, aku terlalu rapuh. Kerasnya kehidupan London membuatku ingin kembali ke Doncaster, terlalu banyak persaingan disini.
Aku harap suatu saat kita akan bertemu kembali. Aku ingin kembali mengulang apa yang telah kita lakukan bersama. Aku ingin memperbaiki kehidupanku, dan mungkin aku akan kembali menemuimu—suatu saat nanti ketika aku sudah lebih baik dari sekarang. Dan jika kau merindukanku, mungkin hujan akan meredam kerinduanmu.Ingat Emma, hujan selalu memberimu kebahagiaan.
Love Your Bestfriend,
Louis Tomlinson”
Emma menangis membaca surat dari Louis. Ia menemukan sebuah cincin yang bertuliskan nama Louis dan selembar foto mereka berdua yang diambil saat sedang menghabiskan waktu bersama. Emma menyesal—ia menyesal mengapa Louis pergi meninggalkannya saat ia mulai bisa menerima Louis. Sejujurnya, Emma mulai mencintai Louis—sahabat yang belum lama ia kenal.
“Louis, aku akan menunggumu sampai kau merasa lebih baik dari sekarang. Tuhan, tolong turunkan hujan setiap hari agar aku selalu mengingatnya—agar aku selalu ingat ketika pertama kali kami bertemu dan ketika dia pergi meninggalkanku. Aku punya banyak cerita antara tetesan hujan dan aku akan menyimpannya sebagai pengingatku pada seseorang yang aku cintai.” Gumam Emma dalam hati.
Thanks para readers yg uda baca FF ini ^_^
Sumber : real directioners
Tidak ada komentar:
Posting Komentar